Gen Z Nepal dan Krisis Demokrasi: Dari Protes Jalanan ke Revolusi Kesadaran Sosial

Lokalpress.id, Yogyakarta – Pidato “Jai Nepal” yang disampaikan oleh seorang pelajar Nepal pada Maret 2025 dapat dibaca bukan hanya sebagai seruan politik, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan kesadaran kolektif. Seruan sederhana itu menjadi resonansi yang melampaui kata: ia menyalakan kembali ingatan sejarah, luka ketidakadilan, dan harapan yang lama dipendam.

Ketika enam bulan kemudian, September 2025, gelombang protes besar-besaran pecah, hal itu tidak semata-mata manifestasi kemarahan sosial terhadap korupsi. Lebih dalam dari itu, ia adalah artikulasi dari generasi yang sedang mencari bentuk baru keberadaan. Gen Z Nepal tidak hanya menuntut keadilan dalam bingkai politik formal, tetapi juga mempertanyakan fondasi eksistensial: untuk apa negara, untuk siapa kekuasaan, dan bagaimana masa depan bisa dimiliki bersama.

Kesadaran Transformatif
Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena ini dapat dibaca sebagai “titik kritis generasi” (generational critical juncture). Saat suatu generasi mengalami krisis struktural yang panjang, mereka bukan hanya menjadi subjek perubahan, tetapi juga aktor yang memproduksi horizon baru. “Jai Nepal” menjadi floating signifier, penanda yang terbuka, cair, dan dapat diisi oleh berbagai makna: patriotisme, perlawanan, kebebasan, bahkan spiritualitas.

Lebih jauh, dalam studi postkolonial dan teori kontemporer demokrasi, gerakan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak lagi hanya bergantung pada elit politik. Ruang digital, memori kolektif, dan kesadaran kosmopolitan Gen Z membentuk jaringan yang melampaui batas negara-bangsa. Nepal, dengan sejarah pergulatan monarki, perang sipil, dan demokratisasi rapuh, kini menjadi panggung bagi pertanyaan global: apakah demokrasi hanya ritual prosedural, ataukah sebuah jalan menuju transformasi kesadaran bersama?

Dari Protes ke Transformasi
Namun, pertanyaan kritis muncul: apakah gerakan ini hanya akan berakhir sebagai siklus protes, lalu kembali ditelan kompromi politik lama? Ataukah ia akan menjadi lompatan kuantum kesadaran sosial? Inilah titik provokatif: perubahan sejati tidak cukup hanya melawan korupsi atau menuntut keadilan. Perubahan sejati menuntut transmutasi: dari politik transaksional menuju politik kesadaran, dari identitas yang terfragmentasi menuju solidaritas kosmologis.

Melampaui Dualisme Kesadaran
“Jai Nepal” dapat dipahami bukan sekadar slogan nasionalisme, melainkan mantra peralihan kesadaran. Ia bukan hanya “melawan” atau “menuntut,” tetapi juga mengundang masyarakat untuk menyadari keterhubungan antara penderitaan pribadi dan sistemik. Melampaui dualisme “pemerintah vs rakyat,” “korupsi vs keadilan,” ada ruang baru: kesadaran pencerahan, bahwa keadilan sosial hanyalah refleksi dari keadilan batin; bahwa revolusi di jalan raya takkan bertahan tanpa revolusi dalam jiwa.

Dengan demikian, pidato seorang pelajar itu bukan sekadar catatan politik, melainkan sebuah isyarat spiritual-sosiologis: panggilan untuk melampaui keterpecahan, untuk memasuki horizon baru di mana perubahan sosial dan pencerahan batin tidak lagi dipisahkan, melainkan menyatu dalam satu arus sejarah.

Penulis : Agus Budi Rachmanto, M.Sc
Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Member of Asia Pacific Network of Science & Technology Centres (ASPAC)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

About Us

Luckily friends do ashamed to do suppose. Tried meant mr smile so. Exquisite behaviour as to middleton perfectly. Chicken no wishing waiting am. Say concerns dwelling graceful.

Services

Most Recent Posts

Company Info

She wholly fat who window extent either formal. Removing welcomed.

Ayo Diskusi Kampanye Kamu

Mau pamer event, bangun brand authority, atau story local success? Tim Lokalpress siap bantu. Klik tombol di bawah untuk ngobrol!

Operated by PT Katalis Narasi Indonesia Mengelola 100+ media online lokal, menyalurkan informasi secara cepat, aman, dan tepat sasaran.

© 2025 LokalPress.id